Sabtu, 15 Maret 2014

Hari ke-4 PK-9 LPDP : Berburu berita di Kampung Baduy (Seri Citizen Journalism)

Mentari  pagi sudah mengintip di celah-celah bilik rumah baduy tempat kami bermalam. Rumah ini adalah salah satu dari delapan rumah (khusus putri) yang kami tempati hingga hari terakhir kami di Baduy. Untuk yang pria, ada enam rumah. Oia, aku tinggal di rumah no.6. Rumah ini dihuni oleh seorang ibu yang masih sangat belia dan cantik dengan satu orang anak usia sekitar 2 thn.  Nama ibu muda itu adalah Kartini. Semenjak kami datang, ia hanya menampakkan diri sesekali. Selebihnya, Kartini  selalu bersama anaknya, bercengkrama  di ruang tengah yang bergabung dengan dapur. Sementara kami, berada di ruang depan . Ruangan ini pula yang menjadi tempat kami tidur .
Suasana Pagi di Kampung Gazebo
Setelah selesai sarapan, kami ber-7 yang berada di rumah no.6 mulai menyebar ke kelompok masing-masing. Aku berdiskusi singkat dengan teman-teman kelompok Sakai. Akhirnya kami sepakat membagi  11 orang diantara kami menjadi  5 tim. Masing-masing tim  bertugas mencari info sebanyak-banyaknya , mengenai kebiasaan sehari-hari suku baduy luar, sumber mata pencaharian mereka, adat-istiadat yang berlaku beserta hal-hal unik lainnya. Nantinya info-info tersebut akan menjadi  bahan referensi kami untuk membuat Citizen Journalism.

Awalnya kami sempat bingung, bagaimana kami bisa menggali info jika kami tidak bisa berkomunikasi secara lancar dengan masyarakat baduy. Sehari-hari, suku baduy berkomunikasi dengan bahasa sunda kasar. Aku, meski memiliki darah sunda, tapi bukan berarti bisa berbahasa sunda. Itulah satu hal yang kusesalkan. Karena, semenjak kecil bahasa yang diajarkan orang tua adalah Indonesia. Namun, aku dan mr.Bin (Muqrobin) partner aku meliput berita, tidak lah putus asa. Kami mencari seorang guide yang dapat kami jadikan pemandu jalan sekaligus penterjemah. Alhamdulillah, akhirnya  dapat juga seorang guide seumuran adik bungsuku. Namanya Asep, usia 17 th.  Dengan lincah, Asep menunjukkan jalan-jalan setapak menuju tempat-tempat yang cukup jauh dari perkampungan baduy tempat kami tinggal. 

Setelah menempuh perjalanan setapak, naik turun, menyeberangi sungai, sampailah kami disebuah rumah seorang penduduk. Disana terdapat seorang gadis belasan tahun yang akhirnya aku kenal dengan nama Tini (Ini adalah nama Tini yang ke-2 setelah nama Kartini yang berada di rumah tempat aku menginap). Usianya baru saja menginjak 15 th. Namun ia sudah menikah. Suaminya pada saat itu sedang berada dirumah. Sambil menemani sang istri menenun. Kamipun segera membuka pembicaraan, tentunya diawali oleh Asep sebagai perantara komunikasi kami. Thanks ya Asep :-)

Kegiatan sehari-hari  sebagian besar wanita baduy adalah menenun.Sementara kaum pria lebih sering ke ladang. Namun kali ini, tugas kami adalah meliput tentang kain tenun.  Kain yang ditenun menggunakan alat tenun tradisional dari kayu. Nantinya akan dijual dengan harga bervariasi, tergantung besar kecil kain yang dibuat. Untuk ukuran sedang, harganya mencapai Rp. 30-35rb. Sedangkan ukuran besar, seperti kain sarung, harganya bisa mencapai 100-120rb. Aku terkesan dengan ketekunan mereka merangkai helai demi helai benang sehingga berpadu menjadi sebuah kain.  Dibutuhkan kurang lebih 4 hari untuk membuiat sebuah kain tenun bentuk selendang  ukuran sedang.
Wanita Baduy Sedang Menenun
Tini Sedang Menenun Diteras Rumahnya
Puas dengan info tentang kain tenun, kamipun sedikit mengulik tentang  adat istiadat di sini. Ketika kami bertanya kepada Asep dan Suami dari mba Tini, mengapa disini tidak ada sekolah? Jawaban mereka adalah karena memang ada aturan adat dalam bentuk larangan untuk tidak boleh mendirikan sekolah. Selain itu, listrikpun tidak boleh masuk. Lalu, anak-anak baduy lebih sering  belajar membaca dan menulis dari orang tua mereka. Atau ada juga yang otodidak. Jika rajin keluar desa (turun gunung), dan berinteraksi dengan orang luar, maka biasanya bahasa Indonesia mereka menjadi lancar. Seperti Asep, bahasa Indonesianya lebih bagus daripada Tini dan suaminya. Itu karena Asep sering keluar desa untuk berinteraksi dengan orang-orang Banten atau pendatang yang bukan dari suku baduy. Oh ya, ada satu lagi, untuk masalah perkawinan. Para pemuda/i  suku baduy, hanya diperbolehkan menikah dengan sesama suku . Jika ada yang menikah dengan suku lain, maka ia akan dikeluarkan dari kampung baduy.
Kang Asep dan Mas Obin Berjalan Mendaki
Selanjutnya, Asep mengajak kami ke tempat salah seorang temannya. Ia bernama Hanif. Selisih usia mereka tidak berbeda jauh  Hanif lebih tua 1 th dari Asep. Kegiatan sehari-hari Hanif adalah membuat gula aren. Ketika kami sampai dilokasi pembuatan gula aren, tampak Hanif sedang mengaduk-aduk adonan air yang berasal dari pohon nira yang disadap. Tungku api yang berada didalam sebuah gubuk, menjadi satu-satunya penerang ruangan. Kami sempat mencicipi air nira yang masih berada di kuali tersebut. Ketika kami merasakan air nya, rasa hangat menjalar ke tenggorokan kami. Aroma sangit kayu bakar ditambah manis gurih bakal gula aren membuat kami menjadi ketagihan. Ups, tapi kami malu untuk meminta lagi hehe.
Untuk membuat gula aren, dibutuhkan proses pematangan air nira selama lebih kurang 4 jam. Setelah itu, barulah adonan dituangkan ke cetakan yang terbuat dari kayu panjang. Bagian tengahnya  memiliki beberapa bentuk setengah lingkaran sebesar batok kelapa. Persis seperti bentuk gula aren yang sudah jadi. Dalam sehari, Hanif mampu membuat 15-30 buah gula aren.  Untuk harga jual, Hanif mematok harga hanya 4 rb perbungkus. 

Setelah puas dengan penjelasan gula aren. Kamipun mengalihkan topik pembicaraan. Pertanyaan yang sama untuk masalah pendidikan. Dan jawaban yang sama pula yang kami dapatkan. Akhirnya, kami sampai  di sebuah kesimpulan bahwa..untuk menjaga kemurnian adat istiadat dan keasrian alam, maka suku baduy menerapkan prinsip isolasi diri. Tidak menerima adanya listrik, bangunan sekolah maupun  pendidikan resmi , dan segala kemajuan peradaban dalam bentuk barang –barang modern. Terlebih suku baduy dalam. Mereka lebih ketat menerapkan larangan-larangan tersebut. Dimana jika larangan-larangan itu ditulis, maka akan menjadi sebuah buku khusus mengenai aturan-aturan suku baduy dalam. 

Ah, terlalu banyak yang ingin diceritakan mengenai keunikan suku ini. Namun satu hal yang dapat kami garis bawahi, bahwa suku baduy mampu hidup dalam kesederhanaan, kemandirian, menyatu dengan alam,  selalu menjaga keseimbangan antara kehidupan mereka dengan alam . Kami mengenalnya dengan istilah kearifan lokal.  Hidup tidak dengan banyak menuntut. Sehingga jauh dari sifat tamak, serakah layaknya kebanyakan manusia modern saat ini.  Sehingga alampun ramah terhadap mereka. Dan merekapun bersahabat dengan alam. Bagiku, biarlah suku-suku pedalaman ini berkembang dengan ciri khas mereka masing-masing. Agar kelak, bisa menjadi cermin untuk generasi mendatang dalam menyikapi kehidupan dan alam sekitarnya. Karena suku-suku pedalaman inilah yang menjadi salah satu aset kekayaan budaya dan keunikan bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar