Mentari pagi sudah
mengintip di celah-celah bilik rumah baduy tempat kami bermalam. Rumah ini
adalah salah satu dari delapan rumah (khusus putri) yang kami tempati hingga hari
terakhir kami di Baduy. Untuk yang pria, ada enam rumah. Oia, aku tinggal di rumah
no.6. Rumah ini dihuni oleh seorang ibu yang masih sangat belia dan cantik dengan
satu orang anak usia sekitar 2 thn. Nama
ibu muda itu adalah Kartini. Semenjak kami datang, ia hanya menampakkan diri
sesekali. Selebihnya, Kartini selalu
bersama anaknya, bercengkrama di ruang
tengah yang bergabung dengan dapur. Sementara kami, berada di ruang depan . Ruangan
ini pula yang menjadi tempat kami tidur .
Suasana Pagi di Kampung Gazebo |
Setelah selesai sarapan, kami ber-7 yang berada di rumah
no.6 mulai menyebar ke kelompok masing-masing. Aku berdiskusi singkat dengan
teman-teman kelompok Sakai. Akhirnya kami sepakat membagi 11 orang diantara kami menjadi 5 tim. Masing-masing tim bertugas mencari info sebanyak-banyaknya , mengenai
kebiasaan sehari-hari suku baduy luar, sumber mata pencaharian mereka,
adat-istiadat yang berlaku beserta hal-hal unik lainnya. Nantinya info-info
tersebut akan menjadi bahan referensi kami
untuk membuat Citizen Journalism.
Awalnya kami sempat
bingung, bagaimana kami bisa menggali info jika kami tidak bisa berkomunikasi
secara lancar dengan masyarakat baduy. Sehari-hari, suku baduy berkomunikasi
dengan bahasa sunda kasar. Aku, meski memiliki darah sunda, tapi bukan berarti
bisa berbahasa sunda. Itulah satu hal yang kusesalkan. Karena, semenjak kecil
bahasa yang diajarkan orang tua adalah Indonesia. Namun, aku dan mr.Bin (Muqrobin) partner aku meliput berita, tidak
lah putus asa. Kami mencari seorang guide
yang dapat kami jadikan pemandu jalan sekaligus penterjemah. Alhamdulillah,
akhirnya dapat juga seorang guide seumuran adik bungsuku. Namanya
Asep, usia 17 th. Dengan lincah, Asep
menunjukkan jalan-jalan setapak menuju tempat-tempat yang cukup jauh dari
perkampungan baduy tempat kami tinggal.
Setelah menempuh perjalanan setapak, naik turun,
menyeberangi sungai, sampailah kami disebuah rumah seorang penduduk. Disana
terdapat seorang gadis belasan tahun yang akhirnya aku kenal dengan nama Tini (Ini
adalah nama Tini yang ke-2 setelah nama Kartini yang berada di rumah tempat aku
menginap). Usianya baru saja menginjak 15 th. Namun ia sudah menikah. Suaminya pada
saat itu sedang berada dirumah. Sambil menemani sang istri menenun. Kamipun segera
membuka pembicaraan, tentunya diawali oleh Asep sebagai perantara komunikasi
kami. Thanks ya Asep :-)
Kegiatan sehari-hari sebagian besar wanita baduy adalah menenun.Sementara
kaum pria lebih sering ke ladang. Namun kali ini, tugas kami adalah meliput
tentang kain tenun. Kain yang ditenun
menggunakan alat tenun tradisional dari kayu. Nantinya akan dijual dengan harga
bervariasi, tergantung besar kecil kain yang dibuat. Untuk ukuran sedang,
harganya mencapai Rp. 30-35rb. Sedangkan ukuran besar, seperti kain sarung,
harganya bisa mencapai 100-120rb. Aku terkesan dengan ketekunan mereka
merangkai helai demi helai benang sehingga berpadu menjadi sebuah kain. Dibutuhkan kurang lebih 4 hari untuk membuiat
sebuah kain tenun bentuk selendang ukuran sedang.
Puas dengan info tentang kain tenun, kamipun sedikit
mengulik tentang adat istiadat di sini.
Ketika kami bertanya kepada Asep dan
Suami dari mba Tini, mengapa disini tidak ada sekolah? Jawaban mereka adalah
karena memang ada aturan adat dalam bentuk larangan untuk tidak boleh
mendirikan sekolah. Selain itu, listrikpun tidak boleh masuk. Lalu, anak-anak
baduy lebih sering belajar membaca dan
menulis dari orang tua mereka. Atau ada juga yang otodidak. Jika rajin keluar
desa (turun gunung), dan berinteraksi dengan orang luar, maka biasanya bahasa
Indonesia mereka menjadi lancar. Seperti Asep, bahasa Indonesianya lebih bagus daripada
Tini dan suaminya. Itu karena Asep sering keluar desa untuk berinteraksi dengan
orang-orang Banten atau pendatang yang bukan dari suku baduy. Oh ya, ada satu
lagi, untuk masalah perkawinan. Para pemuda/i suku baduy, hanya diperbolehkan menikah dengan
sesama suku . Jika ada yang menikah dengan suku lain, maka ia akan dikeluarkan
dari kampung baduy.
Wanita Baduy Sedang Menenun |
Tini Sedang Menenun Diteras Rumahnya |
Kang Asep dan Mas Obin Berjalan Mendaki |
Selanjutnya, Asep mengajak kami ke tempat salah seorang
temannya. Ia bernama Hanif. Selisih usia mereka tidak berbeda jauh Hanif lebih tua 1 th dari Asep. Kegiatan
sehari-hari Hanif adalah membuat gula aren. Ketika kami sampai dilokasi
pembuatan gula aren, tampak Hanif sedang mengaduk-aduk adonan air yang berasal
dari pohon nira yang disadap. Tungku api yang berada didalam sebuah gubuk,
menjadi satu-satunya penerang ruangan. Kami sempat mencicipi air nira yang masih
berada di kuali tersebut. Ketika kami merasakan air nya, rasa hangat menjalar
ke tenggorokan kami. Aroma sangit kayu bakar ditambah manis gurih bakal gula
aren membuat kami menjadi ketagihan. Ups, tapi kami malu untuk meminta lagi
hehe.
Untuk membuat gula aren, dibutuhkan proses pematangan air
nira selama lebih kurang 4 jam. Setelah itu, barulah adonan dituangkan ke
cetakan yang terbuat dari kayu panjang. Bagian tengahnya memiliki beberapa bentuk setengah lingkaran
sebesar batok kelapa. Persis seperti bentuk gula aren yang sudah jadi. Dalam
sehari, Hanif mampu membuat 15-30 buah gula aren. Untuk harga jual, Hanif mematok harga hanya 4
rb perbungkus.
Setelah puas dengan penjelasan gula aren. Kamipun mengalihkan
topik pembicaraan. Pertanyaan yang sama untuk masalah pendidikan. Dan jawaban
yang sama pula yang kami dapatkan. Akhirnya, kami sampai di sebuah kesimpulan bahwa..untuk menjaga kemurnian
adat istiadat dan keasrian alam, maka suku baduy menerapkan prinsip isolasi
diri. Tidak menerima adanya listrik, bangunan sekolah maupun pendidikan resmi , dan segala kemajuan
peradaban dalam bentuk barang –barang modern. Terlebih suku baduy dalam. Mereka
lebih ketat menerapkan larangan-larangan tersebut. Dimana jika
larangan-larangan itu ditulis, maka akan menjadi sebuah buku khusus mengenai
aturan-aturan suku baduy dalam.
Ah, terlalu banyak yang ingin diceritakan mengenai keunikan
suku ini. Namun satu hal yang dapat kami garis bawahi, bahwa suku baduy mampu
hidup dalam kesederhanaan, kemandirian, menyatu dengan alam, selalu menjaga keseimbangan antara kehidupan
mereka dengan alam . Kami mengenalnya dengan istilah kearifan lokal. Hidup tidak dengan banyak menuntut. Sehingga jauh
dari sifat tamak, serakah layaknya kebanyakan manusia modern saat ini. Sehingga alampun ramah terhadap mereka. Dan merekapun
bersahabat dengan alam. Bagiku, biarlah suku-suku pedalaman ini berkembang dengan
ciri khas mereka masing-masing. Agar kelak, bisa menjadi cermin untuk generasi
mendatang dalam menyikapi kehidupan dan alam sekitarnya. Karena suku-suku
pedalaman inilah yang menjadi salah satu aset kekayaan budaya dan keunikan
bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar